Ia juga menegaskan kembali peran penting Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa yang mampu mengakomodasi keberagaman sekaligus menangkal ekstremisme. Dengan menjaga keseimbangan antara identitas agama, kewarganegaraan, dan kemanusiaan, diharapkan masyarakat Indonesia dapat terus membangun toleransi dan menghindari fanatisme berlebihan yang dapat mengancam persatuan bangsa.
Walaupun kebanyakan para pelaku kekerasan berbasis agama di Indonesia memiliki latar belakang agama Islam, Alissa kembali menegaskan bahwa tindakan ekstremisme itu tidak terkait dengan agama tertentu.
Menurutnya, kekerasan berbasis agama, jika ingin melihatnya dengan lebih komprehensif, maka akan sampai pada kesimpulan bahwa agama mayoritas dari suatu wilayah atau negara akan cenderung lebih banyak melakukan kekerasan mengatasnamakan agamanya.
Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di negara seperti Myanmar yang mayoritas beragama Buddha, ataupun India yang kebanyakan penduduknya beragama Hindu. Baik Myanmar maupun India terdapat banyak kasus kekerasan yang dilakukan oleh kelompok agama mayoritasnya.
Alissa berharap agar semua pihak, khususnya para pemuka agama di Indonesia, baik yang minoritas maupun mayoritas, memprioritaskan pemahaman moderasi beragama di lingkungannya masing-masing. Hal ini ditujukan agar seluruh kelompok beragama tidak gagap dalam menyikapi perbedaan agama, sehingga masyarakat Indonesia secara keseluruhan lebih resisten terhadap upaya polarisasi yang justru menguntungkan kelompok tertentu.
“Kalau mengutip pesan dari Mahatma Gandhi, ‘an eye for an eye will make the world blind.’ Jika orientasi kita ketika berkonflik dengan suatu pihak atau kelompok tertentu dengan saling melukai dan membalas keburukan dengan keburukan, maka penderitaan yang dialami oleh semua pihak yang terlibat tidak akan pernah selesai,” kata Alissa.
(abd)